KONSEP MODEL PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN DIDAHULUI MEKANISME UJI PUBLIK DITINJAU BERDASARKAN PASAL 18 AYAT (4) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
Danang Suryo Wibowo
(Jurnal Skripsi)
Danang
Suryo Wibowo, Dr. Jazim Hamidi, SH, MH, Tunggul Anshari, SH,MH.
Fakultas
Hukum Universitas Brawujaya
Email : d_suryo_wibowo@yahoo.co.id
ABSTRAKSI
Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis dan menganalisis konstruksi pemilihan
kepala daerah berdasarkan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dengan menggunakan
konsep pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang didahului dengan
mekanisme uji publik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis
normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konseptual, dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum primer, sekunder dan
tersier yang diperoleh penulis kemudian dianalisis menggunakan pisau analisis
interpretasi literal (literlijk).
Interpretasi komparatif, dan interpretasi evolutif-dinamis atau penalaran
yuridis yaitu menemukan argumentasi hukum terhadap permasalahan yang diteliti
kemmudian ditarik suatu kesimpulan. Dari hasil penelitian dengan menggunakan
metode diatas, penulis memperoleh kesimpulan bahwa konstruksi pemilihan kepala
daerah secara langsung saat ini banyak sekali kekurangan dibandingkan
kelebihannya yakni terlalu membutuhkan dana yang besar untuk melangsungkan
pemilihan kepala daerah secara langsung, rawan menimbulkan adanya dinasti
politik, kepala daerah terpilih juga sebagian besar terkena kasus korupsi saat
menjabat dan juga posisi jabatan wakil kepala daerah juga kurang efisien. Untuk
itu penulis mencoba memberikan solusi konstruksi model pemilihan kepala daerah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimana tidak membutuhkan biaya
besar, tetapi sebelumnya didahului uji publik yang dimana bertujuan untuk
menghindari adanya dinasti politik dan kepala daerah yang korup serta
memberikan alternatif pengisisan jabatan wakil kepala daerah yakni boleh
menggunakan wakil kepala daerah atau tidak menggunakan tergantung hak
prerogatif dari kepala daerah terpilih tersebut, karena mengingat jabatan wakil
kepala daerah adalah bukan jabatan politis.
Kata Kunci :
pemilihan kepala daerah, uji publik, otonomi daerah
CONCEPT MODEL SELECTION BY THE HEAD OF THE HOUSE OF
REPRESENTATIVES PRECEDED MECHANISM BASED PUBLIC TEST UNDER ARTICLE 18,
PARAGRAPH (4) OF THE CONSTITUTION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA 1945
Danang
Suryo Wibowo, Dr. Jazim Hamidi, SH, MH, Tunggul Anshari, SH,MH.
Law
Faculty, Brawijaya University
Email
: d_suryo_wibowo@yahoo.co.id
ABSTRACT
This study
intend to examine and analyze the construction of the local election pursuant
to Article 18 paragraph (4) of the Constitution of the Republic of Indonesia
1945 in the context of regional autonomy by using the concept of election by
the Council of Regional Representatives are preceded by public testing
mechanism. This study uses a normative juridical approach using statute
approach, conceptual approach, and comparative approach. Primary legal
materials, secondary and tertiary authors acquired and analyzed using analysis
knife juridical reasoning that finding legal arguments against the problems
studied kemmudian drawn a conclusion. From the results of research using the
above method, the authors came to the conclusion that the construction of
direct local elections today many shortcomings compared to the benefits that
too requires substantial funds to establish a direct local elections, prone to
cause the existence of a political dynasty, was elected regional head also
majority exposed large corruption case while in office and also the position of
deputy head of the regional office is also less efficient. To the authors try
to provide a solution model construction selected by the local elections
Legislative Council which does not require great expense, but the public were preceded
test which aims to avoid the presence of political dynasties and corrupt heads
of regions and provide an alternative filling the post of deputy head of the
regional the deputy head of the region may use or not use depending on the
prerogative of the head of the selected area, because given the post of deputy
head of the region is not a political position.
Keywords : local election, public testing, regional
autonomy
A.
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional dalam penyelenggaraan
sistem ketatanegaraan Indonesia pada dasarnya bersifat literlijk sehingga apa yang tertulis itulah yang merupakan norma.
Penafsiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indoneisa 1945 selalu menyatakan secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang
ada dalam pemerintahan. Sebagai contoh adalah jabatan Wakil Presiden kemudian,
Menteri, Duta Besar, dinyatakan secara tegas. Artinya dalam undang-undang
organik boleh untuk mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya bisa saja
kepala daerah baik provinsi ataupun kabupaten/kota dipilih dan memegang jabatan
tanpa didampingi wakil atau pengaturan mengenai pemilihan wakil kepala daerah
dalam undang-undang dapat saja berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala
daerah.
Berdasarkan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Gubernur,Bupati,Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis. Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multitafsir, harus dikaji
secara mendalam dan komprehensif tentang pengaturannya sehingga penerapannya
dapat memberikan manfaat bagi demokratisasi daerah dan kesejahteraan masyarakat
daerah. Menurut Ibnu Tricahyo berdasarkan tafsir sistematis dan historis maka
makna demokratis adalah pemilihan langsung.[1] Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat seperti
sekarang ini masih perlu dikaji secara mendalam. Jika dihubungkan dengan tujuan
peneyelenggaraan otonomi daerah anatara lain untuk mewujudkan kesejahteraan,
ketertiban dam keadilan bagi masyarakat secara demokratis.
Dalam konteks ini ada beberapa
problematika yang harus dipahami, apakah pemilihan kepala daerah secara
langsung tidak bertentangan dengan filosofi bangsa Indonesia yakni “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”,[2] Apakah
pilkada langsung juga sudah menjamin nilai keadilan terhadap pertimbangan bahwa
keanekaragaman daerah otonom dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Secara
teoritis, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma dari
demokrasi representatif bergeser ke demokrasi partisipatif. Secara teoritis
pemahaman yang demikian apakah mengantarkan demkrasi secara lebih dewasa, lebih
beradab, lebih beretika dan lebih memanusiakan manusia Indonesia.
Dalam
pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, tidak dicantumkan secara
eksplisit pengisian jabatan kepala daerah(Gubernur,Bupati/Walikota). Tetapi
setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 18 ayat (4) dicantumkan
secara eksplisit bahwa dipilih secara demokratis.
Pasal
18 (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan
pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang sebagai implementasinya
pemerintahan daerah telah berganti beberapa kali, mulai Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ,Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun
1959, Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam beberapa undang-undang
tersebut terdapat ketidak konsistenan dalam sistem pengisian jabatan kepala
daerah dan sistem otonomi daerah. Sistem pengisian kepala daerah berganti-ganti
mulai dari penunjukan, diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dipilih Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan dipilih langsung oleh rakyat. Begitu juga dari sistem
otonomi, mulai dari otonomi luas, otonomi nyata dan bertanggung jawab, otonomi
seluas-luasnya.
Secara
sosiologis, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menimbulkan berbagai persoalan.
Berbagai indikasi yang timbul dari sistem ini, misalnya terjadinya pergeseran
nilai-nilai dalam masyarakat yang selama ini masyarakat sangat percaya kepada
pimpinan melalui keteladanan dan karismatiknya, tetapi pada era sekarang, semua
itu telah tergadai. Masyarakat dirusak dengan nilai-nilai pragmatis, sehingga
menjadi materialistis dan individualistis yang lebih menonjol dalam kehidupan
masyarakat daerah.
Selain hal tersebut, yang menjadi
persoalan ketidakjujuran dan ketidakadilan, hal ini ditunjukkan dengan adanya
indikasi banyaknya kecurangan dan pelanggaran hukum yan menimbulkan sengketa
pilkada yang bermuara pada pengadilan dan dapat menimbulkan konflik secara
vertikal dan horizontal di daerah yakni maraknya politik uang dan premanisme.
Konsekuensi dari sistem pemilihan
langsung ini yakni kecenderungan menghabiskan anggaran yang sangat besar, baik
dana yang dianggarkan Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah maupun dana dari
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Misalnya pilkada gubernur
jatim periode 2013-2018 ini menghabiskan dana tidak kurang dari 943 Miliar
rupiah.[3] Contoh
lain misalnya pada pilkada gubernur DKI Jakarta pada bulan Juli 2012. Dana
total diperkirakan mencapai 258 milyar.[4]
Atas
dasar problem diatas maka menarik untuk diteliti dalam rangka reorientasi
pilkada langsung. Oleh karenanya penulis melakukan penelitian yang berjudul “ Konsep Model Pemilihan Kepala Daerah Oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dengan Didahului Mekanisme Uji Publik Ditinjau
Berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945”.
B.
Masalah/isu
hukum
Berdasarkan uraian pendahuluan tersebut,
maka penulis menarik suatu masalah/isu hukum sebagai berikut :
Bagaimana konsep model pemilihan Kepala
Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan didahului mekanisme uji
publik ditinjau berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 ?
C.
Pembahasan
Penelitian
yang dilakukan ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Penelitian
ini mengkaji bahan hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu
norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku
serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan. Norma hukum yang dapat
berlaku di masa depan tersebut adalah sesuai dengan rumusan masalah diatas
yakni konsep pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
didahuli mekanisme uji publik ditinjau berdasarkan Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conseptual approach), dan pendekatan
perbandingan (comparative approach).
Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) digunakan untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berkenaan dengan pemilihan kepala daerah, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Undang-undang tentang pemerintahan daerah, Peraturan Pemerintah
yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. pendekatan koseptual (conseptual approach) digunakan untuk melakukan
kajian konsep hukum tentang esensi pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah sesuai dengan teori yang berkembang. Pendekatan perbandingan (comparative approach) digunakan untuk membandingkan
pengaturan bebrapa undang-undang yang pernah berlaku dalam kaitan pengaturan
pemilihan kepala daerah dengan sistem yang berbeda, dalam tatanan konstitusi
yang sama. Dalam penelitian ini akan dilakukan perbandingan antar peraturan
perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia yang mengatur tentang
pemerintahan daerah. Jenis dan Sumber Bahan Hukum pada penelitian
ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui
studi kepustakaan (library research)
dan kemudian oleh penulis dianalisis dengan menggunakan teknik analisis
interpretasi literal (literlijk), interpretasi
komparatif dan interpretasi evolutif-dinamis yang dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi obyek kajian.
Dari
hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas
permasalahan yang ada bahwa :
1. Perbandingan
model pemilihan Kepala Daerah dalam berbagai Undang-Undang Pemerintahan Daerah
a. Model
pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak menerangkan secara tegas asas pemilihan
Kepala Daerah. Tetapi ketika memperhatikan kondisi negara yang baru berdiri
tentu perangkat lembaga negara belumlah lengkap, oleh karena itu persoalan
tersebut dapat didasarkan pada aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar
1945, bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Dalam hal ini badan
negara yang dimaksud ialah daerah karesidenan, atau daerah yang berotonomi pada
masa kolonial. Maka pada daerah tersebut diadakan Komite Nasional Daerah di
seluruh karesidenan, kota berotonomi dan kabupaten serta daerah-daerah lain
diperlukan.
Sistem
pemilihan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak jelas
mekanismenya, apakah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Komite
Nasional Daerah) ataukah Presiden sendiri yang menunjuk langsung Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 3 jelas-jelas yang dipilih ialah Badan Eksekutif bukanlah
Kepala Daerah. Fakta yuridis ini menunjukkan bahwa pemilihan Kepala Daerah
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut, yang diatur
hanyalah Badan Eksekutif.[5]
b. Model
Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Di
dalam Pasal 2 diuraikan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Kepala Daerah disini menjabat
sebagai Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah. Pada Pasal 13 disebutkan
bahwa Dewan Pemerintah Daerah Dipilih oleh dan dari Dewan Perwakilan Daerah
atas dasar perwakilan berimbang.
Dalam
Undang-Undang ini disebutkan secara jelas mengenai sistem pemilihan Kepala
Daerah, sistem pemilihannya mengguanakan sistem penunjukan oleh Presiden bagi
Kepala Daerah Propinsi, oleh Menteri Dalam Negeri bagi Kepala Daerah Kabupaten
dan oleh Kepala Daerah bagi Kepala Daerah Desa.
c.
Model
Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Pada
Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 mengatur bahwa Pemerintah Daerah
terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilam Rakyat Daerah. Selanjutnya pada
Pasal 4 ayat (2) Kepala Daerah diangkat dariantara calon-calon yang diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Kemudian
Pada Pasal 4 ayat (1) mengatur Kepala Daerah Tingkat I diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dan untuk Kepala Daerah Tingkat II diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Tetapi dalam ayat (3) nya diatur bahwa
Presiden dan Menteri Dalam Negeri diperbolehkan untuk menetapkan pengangkatan
Kepala Daerah Tingkat I dan II diluar calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Alasan
Presiden dan Menteri Dalam Negeri untuk mengangkat Kepala Daerah diluar calon
yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan dari instansi-instansi sipil (misalnya Badan Pengawas
Kegiatan Aparatur Negara) dan instansi-instansi militer (misalnya Penguasa
Perang/Darurat dalam masa keadaan bahaya perang/darurat).[6]
Pengakuan terhadap otonomi daerah harus diakui sepanjang mekanisme pemilihan
dan pengusulan calon yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dilakukan secara demokratis, karena suara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
juga suara rakyat. Lain halnya jika mekanisme pemilihan dan pengusulan calon
Kepala Daerah yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut terdapat
kecurangan dan tidak demokratis, maka Presiden dimungkinkan untuk mengangkat
Kepala Daerah diluar calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tersebut, disinilah letak titik taut kewenangan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.[7]
d. Model
Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Pada
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 mengatur bahwa Pemerintah Daerah
terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah. Kepala Daerah
melaksanakan politik Pemerintah dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut
hierarki yang ada. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah
dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian.[8]
Pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 mengatur bahwa Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam menjalankan tugasnya mempertanggungjawabkan
kepada Kepala Daerah. Pasal 11 mengatur nahwa Kepala daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat I, Menteri Dalam Negeri dengan
persetujuan Presiden bagi Daerah Tingkat II, dan Kepala daerah tingkat I dengan
persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Tingkat III yang ada dalam Daerah
Tingkat I.
e.
Model
Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Mencermati
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak menyebutkan secara tegas asas
yang digunakan dalam pemilihan Kepala Daerah, namun jika dipahami dari
ketentuan Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang ini, terdapat kata-kata dipillih
dan dimusyawaratkan, maka dipilih disini menunjukkan proses menentukan seseorang
dari beberapa orang calon. Dimusyawaratkan disini menunjukkan proses
pengambilan keputusan dapat diartikan bahwa calon yang dipilih tidak melalui
pemungutan suara, dilakukan secara aklamasi karena melihat dan menilai calon
tersebut memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang Kepala Daerah.
Pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 15 di atur sebagai berikut;[9]
1)
Kepala
Daerah Tingkat I dicalonkan oleh Dewan Perwakilan rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon
yang telah dimusyawaratkan dam disepakati bersama antara Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi di depan Menteri Dalam Negeri
2)
Hasil pemilihan yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilam Rakyat Daerah
yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya
2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
f. Model
Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Dalam
konsep otonomi daerah seluas-luasnya ditandai dengan besarnya wewenang dan
kemandirian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diberi kewenangan penuh dan secara mandiri dalam memlih calon Kepala Daerah
yang kemudian diremiskan pengangkatannya oleh pemerintah pusat. Dewan
Paerwakilan Rakyat Daerah juga berwenang meminta pertanggungjawaban Kepala
Daerah yang tidak memenuhi harapan rakyatnya. Dianamika demokratisasi ini
ditandai dengan terjadinya reformasi dimana keinginan masyarakat akan perubahan
sistem pemerintahan daerah sangat kuat. Hal ini ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974.
Sebagaimana
diatur dalam Pasal 34 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yakni;[10]
1)
Pengisian
jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersamaan.
2)
Calon Kepala Daerah dan
calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
melalui tahap pencalonan dan pemilihan.
Pada
dasarnya konsep seperti ini memberikan dampak positif sekaligus negatif juga.
Kelebihannya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberi kewenangan yang
sangat dominan dalam proses pemilihan Kepala Daerah sebagai perwujudan dari
otonomi yang seluas-luasnya. Tetapi kelemahannya adalah dimungkinkan timbulnya
penyalahgunaan wewenang dan ketidak puasan masyarakat di daerah tersebut.
g.
Model
Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Secara
konstitusional Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tidak mengatur secara eksplisit tentang wakil gubernur, wakil bupati, wakil
walikota. Tetapi di dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 diatur
bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umu, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Pasal
57 ayat (1) yakni pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tetapi berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 dan Perkara No. 005/PUU-III/2005, maka
penyelenggara pemilihan kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Terkait
dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon, hal ini
terjadi benturan dengan Pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota adalah pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan
walikota. Jadi secara kontekstual maka kepala daerah dipilih hanya calon kepala
daerah saja tanpa disertai dengan wakil kepala daerah.
2.
Jenis
Model Pemilihan Kepala Daerah
Wadah
untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu dinamakan demokrasi, demokrasi
tersebut dapat dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung.[11]
Tinggal memilih mana yang memang sesuai
dengan kondisi, manfaat, efisiensi, efektifitas bagi suatu bangsa yang menerapkannya.
Demokrasi tersebut pilihan, tetapi landasannya seperti tadi, jika salah
menerapkannya maka akan menimbulkan dampak negatif bagi rakyatnya.[12]
Konsep
dasar konstitusi sudah pada tataran rasionalitas, artinya kita tinggal melihat
kelemahan pengaturannya dimana kita bisa memperbaiki kelemahan tersebut
sehingga mekanisme proses model perwakilan ini dapat berjalan secara
demokratis. Persoalan yang timbul disini bukan pada sistem perwakilannya tetapi
terletak pada pengaturan mekanisme operasioanalnya yang kurang lengkap sehingga
dimungkinkan adanya celah yang tidak transparan, sehingga masyarakat tidak bisa
ikut mengkrontrolnya, padahal dalam konsep kedaulatan rakyat, rakyatlah yang
memegang penuh kekuasaan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan
kewenangan yang sangat besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sementara
sumber daya manusia saat itu kurang berkualitas, maka terjadi banyak anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyalahgunakan wewenangnya.
Pada
akhirnya terjadi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat daerah dengan
model pemilihan kepala daerah secara perwakilan. Maka digantilah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan model
pemilihan kepala daerahnya juga berganti yang dulunya menggunakan model
perwakilan, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini menggunakan model
pemilihan secara langsung, tentu hal ini merupakan terobosan baru dalam sistem
demokrasi di Indonesia.
Antusiasme
masyarakat akan model pemilihan secara langsung ini sangat tinggi, tetapi apa
yang terjadi pada model pemilihan langsung ini kebebasan yang diberikan menjadi
tidak terkontrol lagi, semua calon kepala daerah melakukan money politics, dan masing-masing pendukung calon menjadi sangat
fanatis buta. Ketika pemilihan sudah selesai, calon yang kalah dalam pemilihan
mencari kesalahan calon yang memenangkan pemilihan tersebut, dan yang terjadi
ialah hampir setiap pemilihan kepala daerah.
3.
Interpretasi
Makna Demokratis Dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945
Sebagaimana
telah dijelaskan pada subbab diatas terdapat 2 (dua) jenis model pemilihan
kepala daerah, yakni model pemilihan secara langsung dengan kelebihan dan
kelemahannya dan model pemilihan kepala daerah secara perwakilan juga dengan
kelebihan dan kelemahannya. Sebagaiman dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi :
“Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”
Makna
demokratis sendiri didalam risalah sidang pleno ke-II Majelis Permusyawaratan
Rakyat tentang pembahasan amandemen ke-II Undang-Undang Dasar 1945 adalah
adanya peran serta aktif dari masyarakat daerah tersebut.
Pada
negara yang menganut sistem demokrasi mensyaratkan bahwa kedaulatan ada pada
rakyat. Pada Negara Indonesia dalam ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pemegang kekuasaan tertinggi ada pada
rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat di Indonesia sendiri dibatasi oleh nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab, kedaulatan rakyat sebagai dasar persatuan Indonesia, berkedaulatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang
bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[13].
Semua hal yang menjadi pembatas kedaulatan rakyat di Indonesia ini adalah
ideologi Pancasila.
Menurut
penulis sendiri makna demokratis dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 adalah dengan model pemilihan kepala daerah
secara perwakilan. Yang dimaksudkan perwakilan disini bukanlah murni atau
langsung saja kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi
juga memasukkan peran serta aktif dari masyarakat yakni melalui mekanisme uji
publik.
Karena
menurut penulis demokrasi dengan model secara perwakilan yang dimodifikasi ini
bukanlah suatu kemunduran melainkan adalah suatu terobosan yang baru dan
dinamis tetapi masih tetap berada dalam bingkai konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 dan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
4.
Hubungan
Presiden dengan Kepala Daerah dalam konteks pemilihan Kepala Daerah
Hubungan
Presiden dengan Kepala Daerah dalam konteks pemilihan Kepala Daerah secara
langsung seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
terletak pada Pasal 37 bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga
sebagai wakil Pemerintah di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Ini berarti
bahwa Gubernur itu adalah juga kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang
menjalankan asas tugas pembantuan dan asas dekonsentrasi yang mempunyai
hubungan secara koordinasi dengan Presiden sebagai pemegang pemerintah pusat.
Selanjutnya
terkait dengan Model Pemilihan Kepala Daerah, bahawa Presiden tidak dapat ikut
berperan dalam menentukan Kepala daerah, oleh karena itu presiden tidak dapat
menjangkau jika kepala daerah dalam melakukan kebijakan bertentangan dengan kebijakan
pemerintah pusat.
5.
Hubungan
Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah
Jabatan
wakil kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah adalah hanya sebatas
pelengkap bagi jabatan kepala daerah dan merupakan jabatan politis. Tugas utama
dari wakil kepala daerah membantu kepala daerah dalam pelaksanaan tugasnya.
Pada beberapa undang-undang tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengaturan
yang berbeda-beda terkait cara pengisian jabatan wakil kepala daerah tersebut. Pada
prinsipnya walaupun cara pengisiannya berbeda tetapi fungsi utama dari wakil
kepala daerah adalah sama yaitu membantu kepala daerah dalam menjalankan
tugasnya.
Walaupun
sedikit lebih jelas tentang tugas wakil kepala daerah tersebut, tetapi dalam
kenyataan yang sebenarnya kedudukan wakil kepala daerah tidak lebih dari
pembantu atau bahkan subordinate dari kepala daerah. Hal ini dapat dilihat dari
ketentuan pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa penekanan tugas
wakil kepala daerah pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya koordinasi,
memfasilitasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain yang
sebenarnya dapat dilaksanakan oleh dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah.
Meskipun
demikian pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara Kepala Daerah dengan
Wakil Kepala Daerah merupakan wilayah yang rawan konflik, apabila tidak diatur
secara tegas dan rinci dalam ketentuan perundang-undangan yang kuat
kedudukannya.
6.
Rekonstruksi
Model Pemilihan Kepala Daerah di masa yang akan datang
a.
Konsep
pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan didahului
mekanisme uji publik
Penulis berpikir pada teori demokrasi, teori
desentralisasi dan teori pemilu, maka dalam pemilihan kepala daerah dan
menggabungkan antara model pemilihan secara langsung dan secara perwakilan.
Secara mekanik tentu kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tetapi hal itu belum ada penyeimbangnya, maka disinilah diperlukan peran serta
aktif dari masyarakat yang dalam hal ini bisa menggunakan uji publik. Uji
publik disini bertujuan untuk menyeimbangkan sistem mekanik diatas tadi. Dengan
uji publik disini dapat ditakar integritas dan kemampuan kepemimpinan dari
bakal calon kepala daerah tersebut.[14]
Selain itu uji publik ini menurut Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Agun
Gunanjar Sudarsa juga dapat untuk menghindari dari dinasti politik[15]
yang selama ini dialami oleh Gubernur Jawa Barat Ratu Atut.
Mekanisme
pemilihan kepala daerah ini diselenggarakan melalui oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah setempat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat. Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) menyelenggarakan pemilihan tahap pertama dan kedua dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyelenggarakan pemilihan tahap ketiga.
Mekanisme pemilihannya sebagai berikut;
a)
Pemilihan tahap pertama (Uji
Publik oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah);
1. Pengumuman
pendaftaran uji publik bakal calon kepala daerah yang dilakukan 6 (enam) bulan
sebelum masa jabatan kepala daerah habis;
2. Pendaftaran
uji publik bakal calon kepala daerah;
3. Verifikasi
persyaratan bakal calon kepala daerah;
4. Pelaksanaan
uji publik selama 1 (satu) bulan dengan cara Komisi Pemilihan Umum Daerah
meminta masyarakat untuk memberi masukan tentang bakal calon yang mendaftar
sebagai bakal calon kepala daerah tersebut;
5. Tim
Panel tersebut mengadakan sidang untuk menentukan bakal calon yang lolos,
maksimal 2 minggu setelah hari terakhir
batas pemberian masukan dari masyarakat.
6. Pengumuman
bakal calon yang lulus uji publik yang dimuat di media massa setempat;
b) Pemilihan
tahap kedua oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD);
1. Pengumuman
pendaftaran calon kepala daerah yang telah lulus uji publik;
2. Pendaftaran
calon kepala daerah baik secara perseorangan maupun yang diusung partai politik
ataupun gabungan partai politik;
3. Verifikasi
jumlah dukungan calon kepala daerah perseorangan;
4. Penetapan
nama-nama calon kepala daerah;
5. Kampanye
dan debat terbuka penyampaian visi misi masing-masing calon kepala daerah;
c) Pemilihan
tahap ketiga oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
1. Pemungutan
dan penghitungan suara yang dilakukan oleh semua anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah setempat;
2.
Suara terbanyak dari hasil penghitungan tersebut
kemudian disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur dan Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Kepala Daerah;
b.
Alternatif
pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah
Jabatan
wakil kepala daerah disini bukanlah jabatan politis melainkan pejabat negara
bukan seperti pada peraturan Undang-Udnang Nomor 32 Tahun 2004 sekarang ini.
Bisa dimungkinkan suatu daerah tersebut membutuhkan wakil kepala daerah bisa
juga daerah tersebut tidak memerlukan wakil kepala daerah, jadi pengisian
jabatan wakil kepala daerah tergantung dari kepala daerah. Apabila kepala
daerah membutuhkan wakil kepala daerah, maka Kepala Daerah tersebut dapat
mengajukan 2 (dua) calon dari golongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan eselon
Ib[16]
untuk Wakil Kepala Daerah Provinsi dan eselon dan eselon IIa[17]
untuk Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian calon tersebut diajukan
kepada Menteri Dalam Negeri untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan yang
kemudian dipilih salah 1 (satu) diantaranya untuk disetujui dan dilantik
menjadi Wakil Kepala Daerah Provinsi dan diajukan kepada Gubernur untuk
dilakukan uji kelayakan dan kepatutan yang kemudian dipilih salah 1 (satu)
diantaranya untuk disetujui dan dilantik menjadi Wakil Kepala Daerah
Kabupaten/Kota.
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
Secara
keseluruhan, kesimpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan atau
penilitian pokok rumusan masalah diatas, diuraikan sebagai berikut;
Terdapat
ketidak inkonsistenan pengaturan model pemilihan kepala daerah dalam berbagai
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pernah berlaku di Indonesia ini karena
adanya pengaruh politik dari rezim yang berkuasa pada saat itu. Konsep model
pemilihan kepala daerah oleh dewan perwakilan rakyat daerah yang didahului
dengan mekanisme uji publik bukanlah suatu kemunduran karena hal ini sesuai
dengan didalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan ideologi Pancasila.
2. Saran
a)
Perlu
dilakukan rekonstruksi model pemilihan kepala daerah agar sesuai dengan
ketentuan normatif dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
b)
Perlu
dilakukan perubahan kedua pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
c)
Rancangan
Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah seharusnya mengatur tentang
konsep pemilihan Kepala Daerah oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mekanisme Uji Publik,
d)
Perlu adanya peraturan yang
mengatur tentang tata cara pengangkatan dan tugas, pokok dan fungsi Wakil
Kepala Daerah, bisa berbentuk Undang-Undang bisa pula berbentuk Peraturan
Pemerintah.
e)
Perlu adanya penelitian
lanjutan terkait dengan pemilihan kepala daerah secara serentak se Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Disertasi
Amancik, Model Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UUD 1945 Dalam Rangka Otonomi
Daerah, (Malang : Disertasi, Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum, Tahun
2013)
Makalah
Ibnu
Tricahyo,”Menata Managemen Pemilihan
Kepala Daerah”, (Malang:Makalah,
Pada Lokakarya MPR,2012).
Data
Internet
Admin,
Komisi II Usulkan Uji Publik Calon
Kepala Daerah (online), http://m.bijaks.net/news/article/7-27943/komisi-ii-usulkan-uji-publik-calon-kepala-daerah diakses
pada 9 Juli 2014 pukul 22.50 WIB, 2014
Radar Lampung, Uji Publik Hindari Politik Dinasti (online), www.radarlampung.co.id/read/politika/67200-uji-publik-hindari-politik-dinasti-
diakses pada tanggal 9 Juli 2014 pukul 22.49 WIB
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 59 Tahun 1959
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1965, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2777.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1974, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3037.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik
Indonesia Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437.
Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2003.
[1] Ibnu Tricahyo,”Menata Managemen Pemilihan Kepala Daerah”, (Malang:Makalah, Pada Lokakarya
MPR,2012), hlm.2.
[2] Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 alenia IV
[3] m.tempo.com/read/news/2012/10/15/058435771
[5] Penjelasan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945
[6] Penjelasan Pasal 4
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
[7] Pasal 4 ayat(1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
[8] Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965
[9] Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974
[10] Pasal 34 ayat (1 dan 2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
[11] Amancik,
Model Pemilihan Kepala Daerah
Berdasarkan UUD 1945 Dalam Rangka Otonomi Daerah (Malang : Disertasi,
Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum, Tahun 2013), hlm. 185
[12] Ibid, hlm. 186.
[13] Azhary,
Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis
Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta
: Universitas Indonesia, 1995), hlm. 129
[14] www.radarlampung.co.id/read/politika/67200-uji-publik-hindari-politik-dinasti- diakses
pada tanggal 9 Juli 2014 pukul 22.49 WIB
[15] http://m.bijaks.net/news/article/7-27943/komisi-ii-usulkan-uji-publik-calon-kepala-daerah diakses
pada 9 Juli 2014 pukul 22.50 WIB
[16] Pasal 19 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah
[17] Pasal 20 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah