Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Jurnal Skripsi)



Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
(Studi Pelaksanaan Pemenuhan Sarana Pendidikan Oleh Universitas Brawijaya)

Oleh:
RAHMAD SYAFAAT HABIBI, S.H



Rahmad Syafaat Habibi, Herlin Wijayati, SH. MH., M. Dahlan, SH. MH.
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas serta kendala dan upaya yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya agar sesuai dengan Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), didalam penelitian ini bermaksud bersama-sama menemukan solusi dan melaksanakannya. Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis-empiris dengan metode pendekatan yuridis sosiologis. Kemudian menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis dan dianalisis dengan menggunakan teknik interpretasi teleologis atau sosiologis dengan interpretasi yang berpandangan makna dari sebuah peraturan harus diimplementasikan. Penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa pelaksanaan hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas menurut Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 di Universitas Brawijaya Malang meliputi membangun aksesibilitas dilingkungan Universitas Brawijaya yang ramah terhadap penyandang disabilitas, menyediakan akomodasi bagi penyandang disabilitas, melakukan penelitian tentang isu-isu disabilitas dan meningkatkan sensitivitas civitas akademika terhadap isu-isu disabilitas. Adapun kendala yang dihadapi oleh Universitas Brawijaya dalam pelaksanaan tersebut diatas diantaranya: belum tersedianya rem disemua gedung-gedung fakultas, kurangnya kesadaran mahasiswa UB, terbatasnya jumlah volunter, dan kurangnya keikutsertaan mahasiswa dan civitas akademik serta kurangnya sensitivitas terhadap isu-isu disabilitas. Solusi yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya adalah melalui Alternative Action, memberikan aturan yang jelas terhadap aksesibilitas di UB, menambah jumlah volunteer terutama yang bukan berasal dari mahasiswa, dan lebih sering mengadakan kegiatan-kegiatan tentang disabilitas.

Kata Kunci: penyandang disabilitas, pendidikan, aksesibilitas.

The Rights Of Persons With Disabilities In The Field Of Education Facilities Based On Article 9 Of Act No 9 Year 2011 On The Endorsement Of Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
(The Study on Implementing The Education Fulfillment in Brawijaya University)
Rahmad Syafaat Habibi, HerlinWijayati, SH. MH., M. Dahlan, SH. MH.
Faculty of Law, Brawijaya University

ABSTRACT
The research aims to know the implementation of the fundamental rights of persons with disabilities, obstacles and efforts made by Brawijaya University in order to comply with article 9 of the statute of the Republic of Indonesia number 19 in 2011 on the endorsement of Convention On The Rights Of Persons With Disabilities in Brawijaya University, and find solutions and implement them in certain. The research uses jurisdiction-empirical method with jurisdiction sociological approach. Primary, secondary and tertiary legal materials are obtained and analyzed using teleology or sociology interpretations technique which stresses that one legal regulation should be implemented in society, in this case students with disabilities in Brawijaya University.Using the above methods, answers are obtained over the problems that the implementation of rights of persons with disabilities to comply article 9 of the statute of the Republic of Indonesia number 19 in 2011 on the endorsement of Convention On The Rights Of Persons With Disabilities in Brawijaya University, Malang, includes building comfortable accessibilities in Brawijaya university for persons with disabilities, doing research on the issues on disabilities and increasing the sensitivity of scholars of Brawijaya University towards the issues on disabilities and persons with disabilities.Obstacles faced by Brawijaya University on implementing the above include: the availability of brakes in all buildings in each faculty is yet been provided, a lack of awareness among students ofBrawijaya University, a limited number of volunteer, lack of participations of students and scholars of UB and lack of sensitivities towards disabilities issues. Solutions can be conducted by Brawijaya university is alternative action, giving clear rules of accessibility at UB, increasing the number of main volunteer who do not come from students, and increasing events on disability.

Keywords: people with disabilities, education, accessibility
  



A.                Pendahuluan
Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin. Tercapainya tujuan pembangunan tersebut memerlukan dukungan segenap masyarakat dan pemerintah. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan.[1]
Selain pembangunan nasional Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian dari salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yang harus tetap dipertahankan sampai kapan pun, hal ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Berbicara mengenai kecerdasan erat kaitannya dengan pendidikan, karena pendidikan merupakan salah satu hak asasi setiap warga Negara Indonesia.
Hak memperoleh pendidikan secara khusus diamanatkan dalam Pasal 28C Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Diperkuat oleh Pasal 13 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia”.


Disamping Hak Asasi Manusia warga Negara Indonesia, pemenuhan hak-hak pendidikan juga merupakan kewajiban bagi pemerintah. Pemenuhan pendidikan tidak dapat dipandang sebelah mata, karena pendidikan adalah hal yang pokok dalam masyarakat saat ini. Fakta sejarah, sejak Perang Dunia II yang telah merobek peradaban manusia, agenda utama yang mengisi lembaran-lembaran sejarah kita, adalah soal hak asasi manusia. Agenda ini kian menguat setelah berakhirnya perang dingin.[2] Hak Asasi Manusia yang diantaranya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah saat ini, terlebih pasca reformasi.[3]
Terkait tanggung jawab Negara pada pendidikan, kita dapat menyoroti hal yang lebih kecil khususnya berada disekitar kita. Universitas Brawijaya Malang[4] sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri merupakan lembaga yang berada langsung di bawah pemerintah yang dalam hal ini juga sebagai pelaksana dari amanat konstitusi dalam ruang lingkup bertanggung jawab pada mahasiswanya sendiri. Bertanggungjawab disini dapat diartikan sebagai pemenuhan hak-hak dasar mahasiswanya tanpa memandang suku, ras, agama, serta fisiknya. Pemenuhan hak dasar yang mendasar adalah sarana atau aksesibilitas yang diberikan UB apakah sudah mencakup semua peserta didiknya.
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, dan cacat ganda (cacat fisik dan cacat mental).
Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia menurut SUSENAS tahun 2000 sebanyak 1.548.005 jiwa, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6.97% menjadi 1.655.912 jiwa.[5]


Indonesia mengambil langkah cermat dengan meratifikasi UN CRPD (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada bulan November 2011 menjadi Undang-undang  Nomor 19 tahun 2011 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagai upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak kaum disabilitas di seluruh Indonesia, dalam memperkuat komitmen untuk memajukan hak asasi bagi disabilitas. Ini menjadi perbincangan awal yang positif terhadap pandangan kaum penyandang cacat (Penyandang Disabilitas/Difabel)[6] dewasa ini.
Aksi dan kebijakan tersebut sampai sekarang belum mampu melindungi dan memberikan jaminan terhadap perwujudan hak-hak penyandang disabilitas, dan ini terlihat dari apa yang diberikan UB kepada mahasiswanya dalam Akses terhadap pendidikan, fasilitas yang masih terhalang dengan adanya diskriminasi. Bahkan, partisipasi dalam pembangunan dan akses terhadap hukum yang berkeadilan masih sangat jarang dirasakan bagi kaum penyandang disabilitas. Istilah derajat atau pagar pembeda yang selama ini disebut dengan kecacatan, ideologi kenormalan serta persyaratan sehat jasmani dan rohani telah mengucilkan kreativitas, semangat, harapan dan cita-cita penyandang disabilitas, bahkan telah menghilangkan semangat inklusif di UB.
Seperti yang kita ketahui, manusia sejatinya pantas dipersamakan dan harus diperlakukan dengan sama, tanpa memandang dari fisiknya. Memanusiakan manusia merupakan tindakan yang harus dilakukan oleh seluruh umat manusia didunia ini dan saat ini juga. Berbanding terbalik dengan  yang kita bayangkan. Banyak orang didunia mengesampingkan orang lain yang mereka anggap tidak sempurna (cacat) secara fisik manusia. Bahkan pemerintah sendiri pun belum bisa  menghargai manusia yang mengalami cacat atau kelainan fisik.
Difabel atau dalam penulisan ini  disebut disabilitas[7] merupakan kaum minoritas yang terpinggirkan. Jumlahnya di Indonesia yang mencapai 15% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia saat ini masih jauh dari harapan persamaan seperti yang tertuang dalam Pancasila.[8]
Aksesibilitas[9] merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain dalam Pasal 41, 42 dan 54.
Pengaturan yang jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas dalam pemberian aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Hal ini terlihat pada masih banyaknya infrastruktur di Indonesia yang tidak bisa digunakan oleh orang yang mengalami kelainan fisik, misalnya trotoar yang hanya bisa digunakan oleh orang yang memiliki dua kaki, bahkan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya saja belum memiliki infrastruktur yang bisa digunakan oleh penyandang disabilitas. Bagaimana seorang yang memiliki kelainan dalam fisiknya bisa mengenyam pendidikan jika tidak ada fasilitas pendukung untuk dirinya. Jika kita lebih memahami lagi tidak ada yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, walaupun dirinya mengalami kelainan dengan fisiknya.
Di dunia pendidikan, kaum disabilitas sendiri sering dikucilkan, terlihat dari pemisahan sekolah-sekolah yang ada. Misal adanya sekolah luar biasa bagi penyandang disabilitas. Bagaimana penyandang disabilitas dapat merasakan pendidikan yang sama dari orang-orang pada umumnya, sedangkan dirinya saja selalu tersudutkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan kaum disabilitas adalah adanya penyesuain kurikulum pendidikan bagi dirinya, dan bukan pembedaan sekolah. Karena ini akan membuat mereka semakin terkucil dalam kehidupan sosialnya dimana mereka tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat luas.
Dari latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Pendidikan khususnya di Universitas Brawijaya. Oleh karena itu, penelitian ini berjudul Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Studi Pelaksanaan Pemenuhan Sarana Pendidikan Oleh Universitas Brawijaya).

B.                 Masalah/Isu Hukum
Berdasarkan uraian pendahuluan tersebut, maka dapat ditarik suatu masalah/isu hukum sebagai berikut:
1.      Bagaimana pelaksanaan hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas dalam bidang sarana pendidikan menurut Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) di Universitas Brawijaya Malang?
2.      Apa kendala yang dihadapi oleh Universitas Brawijaya dalam pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan agar sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan bagaimana solusinya?

C.                Pembahasan
Jenis penelitian pada penulisan karya tulis ini adalah yuridis-empiris. Penelitian yang akan mengkaji antara kaidah hukum dengan lingkungan tempat hukum itu berlaku, yaitu tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Pendidikan Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities, studi pelaksanaan pemenuhan sarana pendidikan oleh Universitas Brawijaya. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-sosiologis, yaitu dengan penelitian di Universitas Brawijaya dan mengkaji Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Pendidikan Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities. Lokasi Penelitian dalam penelitian ini dilakukan di Universitas Brawijaya. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian di Universitas Brawijaya karena masih banyaknya infrastruktur di lingkup pendidikan Universitas Brawijaya yang tidak bisa digunakan oleh orang yang mengalami cacat fisik.
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terbagi dalam 3 (tiga) jenis data, yaitu data primer, data sekunder, dan data tersier. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara secara langsung kepada responden, dalam hal ini adalah Rektor Universitas Brawijaya, Ketua Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, dan mahasiswa Disabilitas. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan dengan meneliti literatur baik cetak maupun elektronik yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Populasi dalam penelitian ini warga masyarakat di Universitas Brawijaya, dari mahasiswa, pengurus dekanat hingga pengurus rektorat Universitas Brawijaya termasuk di dalamnya Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD). Pengambilan sample dalam penelitian ini berdasarkan purposive sampling, maksudnya adalah menentukan sampel dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Pihak tersebut diantaranya Kepala Bagian Sarana dan Prasarana Rektorat Universitas Brawijaya : Ir. Lies Edhie Yuliani, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya : Slamet Thohari, S.Fill, MA., Koordinator Pendampingan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya :: Ulfa Fatmala Rizky, S.AP., dan Mahasiswa Disabilitas : Arief Burhan Effendi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan deskriptif-kualitatif melalui tahap konseptualisasi, kategorisasi, relasi dan eksplanasi.



Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa:
1.      Pengaturan  Hak-Hak Dasar Bagi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
A.    Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat, di samping dengan Undang-Undang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas, dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan kesempatan terhadap penyandang cacat pada bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut kepada penyandang cacat diberikan kemudahan-kemudahan (aksesibilitas).
Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitas bagi penyandang cacat, sebagai berikut:[10]
1)      Amandemen II UUD 1945 Pasal 28 H ayat (2), disebutkan:
2)      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial;
3)      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, dalam Pasal 35;
4)      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam Pasal 49;
5)      Pasal 42 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
6)      Dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
7)      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
8)      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
9)      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
10)  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 27;
11)  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
12)  Pasal 5 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
13)  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah;
14)  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
15)  Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.

B.     Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) sebagai produk hukum hasil ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
            Pasal 9 yang berbicara mengenai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang menyebutkan bahwa:
(1.) Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kebijakan-kebijakan ini, yang harus meliputi identifikasi dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas, harus diterapkan pada, antara lain:
a.       Gedung, jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas medis, dan tempat kerja;
b.      Informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik dan layanan gawat darurat.
(2.) Negara-Negara Pihak harus juga mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat untuk:
a.       Mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik;
b.      Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
c.       Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan tentang masalah aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas;
d.      Menyediakan di dalam gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dan dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami;
e.       Menyediakan bentuk-bentuk bantuan langsung dan perantara, termasuk pemandu, pembaca, dan penerjemah bahasa isyarat profesional, untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik;
f.          Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang sesuai bagi penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka terhadap informasi;
g.      Meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem serta teknologi informasi dan komunikasi yang baru, termasuk internet;
h.      Memajukan sejak tahap awal desain, pengembangan, produksi, dan distribusi teknologi dan sistem informasi dan komunikasi yang dapat diakses, sehingga teknologi dan sistem ini dapat diakses dengan biaya yang minimum.
           
            Pasal tersebut menunjukkan bahwa langkah-langkah yang wajib dilakukan adalah mengidentifikasi dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, meliputi gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruangan lainnya. Termasuk juga sekolah, perumahan, fasilitas medis dan tempat kerja. Khusus juga pada angka 2 huruf d dan e bahkan menegaskan Negara-negara pihak wajib juga mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: menyediakan di dalam bangunan dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami; menyediakan bentuk-bentuk bantuan dan perantara langsung, termasuk pemandu, pembaca, dan penerjemah bahasa isyarat professional untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik.
            Di sisi lain, pengaturan yang paling fundamental  di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 selain pada Pasal 9, ada di dalam pembukaan Undang-undang tersebut yang telah mencakup Hak-hak Penyandang Disabilitas. Diantaranya Mengingat kembali prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengakui martabat dan nilai yang melekat serta Hak-hak yang setara dan tidak terpisahkan bagi seluruh anggota keluarga manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.  
         
2.      Pelaksanaan Hak-Hak Dasar Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) Di Universitas Brawijaya Malang
            Universitas Brawijaya yang terletak di Kota Malang merupakan tempat yang penulis jadikan sebagai penelitian, dimana penulis berpendapat bahwa UB bertanggungjawab khususnya terkait aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Terutama setelah Indonesia meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas atau Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011, ini menjadi pengakuan Indonesia dan dunia Internasional bahwa negara peserta konvensi bertanggungjawab pada warganya yang memiliki kebutuhan khusus terhadap aksesibiltas bagi penyandang disabilitas di UB.
            UB merupakan salah satu Universitas di Indonesia yang memiliki mahasiswa terbanyak Data terakhir yang diperoleh menunjukkan bahwa  Mahasiswa Angkatan Baru tahun 2012-2013 berjumlah 15.419 orang.[11]  Begitu banyaknya mahasiswa yang berada di UB dan dengan adanya tuntutan dari tanggungjawab terhadap para mahasiswanya yang berkebutuhan khusus, maka UB pada 2012 mendirikan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD).
            Keberpihakan UB terhadap penyandang disabilitas dapat dilihat dari visi dan misi yang dimiliki PSLD yaitu:
Visi:
Membangun lingkungan Universitas Brawijaya yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
Misi:
1.)    Menyediakan akomodasi bagi penyandang disabilitas,
2.)    Melakukan penelitian tentang isu-isu disabilitas, dan
3.)    Meningkatkan sensitivitas civitas akademika Universitas Brawijaya terhadap isu-isu disabilitas dan penyandang disabilitas

3.      Kendala Yang Dihadapi Oleh Universitas Brawijaya Dalam Pemenuhan Hak-Hak Dasar Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Agar Sesuai Dengan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

            Terkait program-program yang telah dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) untuk menunjang pemenuhan hak-hak dasar (aksesibiltas) penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan, pada kenyataannya Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) memilki beberapa kendala yang menyebabkan terhambatnya dan/atau tidak tercapainya (kurang maksimal) dalam pelaksanaan pemenuhan aksesibilitas sebagai hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan di Universitas Brawijaya.
            Berikut merupakan kendala-kendala yang dihadapi oleh Universitas Brawijaya dalam rangka mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan di Universitas Brawijaya agar sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), yaitu:[12]
1.      Di dalam menciptakan lingkungan yang ramah di Universitas Brawijaya, PSLD terus memberikan saran kepada rektorat misalnya dengan disediakannya rem disemua gedung-gedung disetiap fakultas, trotoar, menuju toilet, dan taman atau tempat belajar terbuka (gazebo). PSLD menganggap prosedur di rektorat cukup berbelit-belit, walau sebenarnya rektorat sendiri memiliki birokrasi yang telah diatur. Rem yang rencananya akan disediakan disemua tempat tidak segampang itu membangunnya, apalagi sistem tender yang digunakan rektorat cukup memakan waktu lama, mulai waktu tender, Pemenangan tender, perencanaan pembangunan, perencanaan anggaran dan sebagainya. Terlebih antara rektorat dan fakultas tidak memiliki niat atau misi yang sama didalam pembangunan yang ramah bagi penyandang disabilitas. Terlihat dari telah banyak gedung-gedung yang dibangun di setiap fakultas tidak memiliki rem. Selain itu kurangnya kesadaran dari mahasiswa di UB juga menjadi kendala yang cukup berpengaruh. Misalnya dengan parkir sembarangan membuat rem terhalang, sehingga pengguna kursi roda sudah tentu tidak dapat menggunakan rem tersebut, ini juga ditopang dengan kurangnya fasilitas parkir di UB yang membuat parkiran menjadi semrawut.
2.      Volunter sebagai akomodasi yang disediakan PSLD bagi teman-teman disabilitas juga terhalang kendala. Volunter yang keseluruhannya merupakan mahasiswa di UB sendiri juga memiliki jadwal kuliah sendiri, apalagi saat-saat tertentu antara volunteer dan teman-teman disabilitas memiliki jadwal kuliah yang sama. Sudah barang tentu terkadang teman-teman volunteer tidak bisa selalu mendampingi teman-teman disabilitas, hal inilah yang mengakibatkan terkadang teman-teman disabilitas tidak dapat didampingi secara optimal. Terlebih para volunteer ini tidak mendapatkan cukup dana dari kegiatannya selama ini, padahal ini sebagai penunjangnya didalam pendampingan. Misalnya ada beberapa teman-teman disabilitas yang harus dijemput dari rumahnya dan diantar ke kampus.
3.      Kurangnya keikutsertaan mahasiswa dan civitas akademik UB terhadap pengembangan kemampuan dasar yang dimiliki mahasiswa dan dosen (seminar dan pelatihan bahasa isyarat dan metode pengajaran bagi disabilitas) membuat kurangnya sensitivitas terhadap isu-isu disabilitas dan penyandang disabilitas. Karena dengan keikutsertaan mereka merupakan pertanda bahwa mereka paham dan peduli terhadap penyandang disabilitas yang jelas-jelas berada tepat disekitar mereka. Apalagi kurangnya mahasiswa dan civitas akademika dalam mengajak dan/atau membaur bersama menjadi satu, hal ini dimaksud agar tidak adanya lagi dinding pembatas.

4.      Solusi Yang Dilakukan Oleh Universitas Brawijaya Dalam Pemenuhan Hak-Hak Dasar Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Agar Sesuai Dengan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
            Alternavtive Action[13] untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat, termasuk di dalamnya pelaksanaan pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan di Universitas Brawijaya. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan wajar.
Selain Alternative Action diatas, berikut merupakan solusi lain yang dapat dilakukan oleh Universitas Brawijaya untuk mengatasi kendala-kendala seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu: Rektorat selaku pelaksana harus memberikan aturan yang jelas terhadap aksesibilitas di UB. Misalnya dengan mewajibkan setiap fakultas di UB membangun rem yang kemudian diikuti dengan tulisan/rambu-rambu yang melarang pengendara atau apapun menghalangi rem tersebut; Rektorat melalui PSLD harus menambah jumlah volunteer terutama yang bukan berasal dari mahasiswa, ini dimaksud agar mahasiswa lain tidak terganggu dengan kegiatan pendampingan ini, namun tetap menyediakan volunteer dari mahasiswa sebagai pembelajaran. Selain itu juga didukung dengan adanya dana khusus terhadap aksesibiltas dan akomodasi bagi penyandang disabilitas di UB; dan Rektorat selaku Induk dari Universitas Brawijaya harus lebih sering mengadakan kegiatan-kegiatan tentang disabilitas yang dimana pesertanya tidak hanya dari teman-teman penyandang disabilitas tetapi mahasiswa lain juga wajib berperan, hal ini dimaksud agar tidak adanya sekat sosial antara mahasiswa di UB.

  


D.                Penutup
1.      Kesimpulan
Secara keseluruhan, kesimpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan atau penelitian di atas, diuraikan di bawah ini:
1.      Pelaksanaan hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas dalam bidang sarana pendidikan menurut Pasal 9 UU RI No.19 Tahun 2011 di Universitas Brawijaya Malang meliputi membangun lingkungan Universitas Brawijaya yang ramah terhadap penyandang disabilitas, menyediakan akomodasi bagi penyandang disabilitas, melakukan penelitian tentang isu-isu disabilitas dan meningkatkan sensitivitas civitas akademika Universitas Brawijaya terhadap isu-isu disabilitas dan penyandang disabilitas.
2.      Kendala yang dihadapi oleh Universitas Brawijaya dalam pelaksanaan tersebut diatas diantaranya: belum tersedianya rem disemua gedung-gedung disetiap fakultas, kurangnya kesadaran dari mahasiswa di UB, terbatasnya jumlah volunter, dan kurangnya keikutsertaan mahasiswa dan civitas akademik UB serta kurangnya sensitivitas terhadap isu-isu disabilitas. Solusi yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya adalah melalui Alternative Action, memberikan aturan yang jelas terhadap aksesibilitas di UB, menambah jumlah volunteer terutama yang bukan berasal dari mahasiswa, dan lebih sering mengadakan kegiatan-kegiatan tentang disabilitas.
2.      Saran
Sederetan Undang-Undang yang menyangkut penyandang cacat meruapakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyandang cacat, guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat, termasuk di dalamnya pelaksanaan pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan di Universitas Brawijaya. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat merupakan tanggung jawab bersama pemerintah termasuk Universitas Brawijaya sebagai lembaga pendidikan, Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) sebagai lembaga yang bergerak khusus pada bidang perlindungan terhadap penyandang disabilitas di Universitas Brawijaya, mahasiswa, masyarakat, dan penyandang cacat itu sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.




DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 253.

Hamid Awaludin, HAM Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional, Buku Kompas, Jakarta, 2012, hlm. 7.

INTERNET

Ali Salmande, 2011, Jangan Abaikan Penyandang Disabilitas (online), http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt50c0b820308a4/jangan-abaikan-penyandang-disabilitas  (30 Januari 2014)

UB Terima 15419 Mahasiswa Baru, Tertinggi di Indonesia, http://prasetya.ub.ac.id/berita/UB-Terima-15419-Mahasiswa-Baru-Tertinggi-di-Indonesia-11102-ide.html , diakses pada tanggal 01 Juni 2014, pukul 22.45 WIB.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  75 Tahun 1959.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251



[1] Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 253.
[2] Hamid Awaludin, HAM Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional, Buku Kompas, Jakarta, 2012, hlm. 7.
[3] Perkembangan Hak Asasi Manusia pasca Reformasi ditandai dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada amandemen kedua dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA.
[4] Selanjutnya dalam skripsi ini disebut UB
[5] Muladi, Op.Cit, hlm. 254.
[6] Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 menyebutnya dengan Penyandang Cacat, sedangkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 menyebutnya dengan Penyandang Disabilitas, namun di Indonesia ada juga yang menyebutnya dengan Kaum Difabel.
[7] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 menyebut penyandang cacat sebagai kaum disabilitas.
[8] Ali Salmande, 2011, Jangan Abaikan Penyandang Disabilitas (online), http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt50c0b820308a4/jangan-abaikan-penyandang-disabilitas  (30 Januari 2014)
[9] Muladi, loc. cit.
[10] Muladi, Op.Cit, hlm. 255.
[11] UB Terima 15419 Mahasiswa Baru, Tertinggi di Indonesia, http://prasetya.ub.ac.id/berita/UB-Terima-15419-Mahasiswa-Baru-Tertinggi-di-Indonesia-11102-ide.html , diakses pada tanggal 01 Juni 2014, pukul 22.45 WIB.
[12] Hasil wawancara dari Ulfah Fatmala Rizky, S.AP selaku koordinator pendampingan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya
[13] Muladi, Op.Cit, hlm. 262.