Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas, atau Difabel ?



Oleh: Rahmad Syafaat Habibi, S.H
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (Pasal 28C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia**) Dimana hak ini wajib untuk diberikan pada setiap warga Negara Indonesia, dan warga Negara tersebut berhak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif. Sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat atau penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, dan cacat ganda (cacat fisik dan cacat mental). Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia menurut SUSENAS tahun 2000 sebanyak 1.548.005 jiwa, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6.97% menjadi 1.655.912 jiwa. (Muladi)
Seperti yang kita ketahui, manusia sejatinya pantas dipersamakan dan harus diperlakukan dengan sama, tanpa memandang dari fisiknya. Memanusiakan manusia merupakan tindakan yang harus dilakukan oleh seluruh umat manusia didunia ini dan saat ini juga. Berbanding terbalik dengan  yang kita bayangkan. Banyak orang didunia mengesampingkan orang lain yang mereka anggap tidak sempurna (cacat) secara fisik manusia. Bahkan pemerintah sendiri pun belum bisa  menghargai manusia yang mengalami cacat atau kelainan fisik. Terlihat dari adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dimana peserta didiknya adalah keseluruhan dari penyandang cacat. Inilah yang membuat penyandang cacat semakin terasing. Bagaimana mereka bisa berbaur dengan masyarakat pada umumnya, jika mereka sebagai kaum minoritas selalu tersudut kan dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah, padahal sejatinya yang mereka butuhkan adalah penyesuaian kurikulum baginya walau ia bersekolah di sekolah umum (SD,SMP,SMU).
Sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, dimana diatur tentang perlakuan khusus bagi penyandang cacat, misalnya pada fasilitas umum diberikan kekhususan dengan adanya toilet khusus, halte dengan ruang tunggu khusus, gedung dengan rem (jalur landai) atau tangga khusus, yah lagi-lagi ini hanya sebatas sebuah peraturan tanpa adanya realisasi secara serius dan optimal.
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi UNCRPD (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities) menjadi Undang-undang Uomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, yang pada hari ini undang-undang tersebut belum juga dijalankan dengan optimal walau sebenarnya ada kemajuan jika dibanding dengan sebelumnya.
Di Indonesia ada perbedaan penyebutan bagi penyandang cacat dan penyandang disabilitas. Tampak jelas dengan pembedaan penyebutan nama pada undang-undang dulu (penyandang cacat UU 4/97) dan sekarang (penyandang disabilitas UU 19/2011). Apalagi di Indonesia banyak juga menyebutnya dengan Difabel (Different Ability), penyebutan ini dengan maksud bahwa semua orang pada dasarnya memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lain tanpa memandang fisiknya. misal Kita bisa membaca saat ada lampu namun saat gelap kita sama sekali tidak bisa membaca, ini tampak beda pada Tuna Netra yang tetap bisa membaca dengan huruf braille pada saat gelap atau tanpa pencahayaan sama sekali. Inilah yang mendasari bahwa setiap manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Penyebutan difabel juga dimaksud agar tidak ada makna kasar, atau sedikit melukai pada orang-orang yang mengalami kelainan fisik. Namun pada intinya bukan hanya pada penyebutannya saja melainkan sikap kita juga harus dan jangan sampai melukai teman-teman difabel. Ayo kita lebih peka terhadap sekeliling kita, yang mereka butuhkan adalah sebuah kesadaran bahwa mereka ada disekitar kita untuk dianggap. Dengan begitu mereka tidak akan tersudutkan didalam interaksi sosial walau mereka kaum minoritas.