Kebijakan Formulatif Konsep Restorative Justice Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Oleh:
A.
Pendahuluan
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang
Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung
tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak – haknya tanpa anak
tersebut meminta
Isu mengenai perkembangan anak menjadi
salah satu hal yang penting didiskusikan. Tidak hanya itu, negara sebagai
tempat berlindung warganya harus memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi
anak. Seiring berkembangnya teknologi informasi yang sulit dibendung, ditambah
iklim demokrasi yang menjamin kebebasan pers, maka berbagai macam isu sangatlah
mudah sampai pada publik, untuk kemudian ramai-ramai dibahas dan
diperbincangkan. Tak terkecuali isu mengenai anak-anak yang berhadapan dengan
hukum. Masih teringat pada 2005-2006, perhatian publik disedot terhadap
permasalahan seorang anak SD dari Langkat, Sumatera Utara yang harus
berkali-kali mengikuti persidangan akibat ulahnya memukul teman sekolahnya.
Kasus ini begitu menyedot perhatian publik yang mempertanyakan, layakkah
seorang anak 8 tahun dihadapkan dimuka pengadilan?.[1]
Kasus terbaru mengenai anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH) pada tahun ini yang sangat menjadi perhatian
publik adalah kasus kecelakaan yang melibatkan
putra musisi Ahmad Dhani, Abdul Qadir Jaelani (AQJ) yang masih berusia 13
tahun, AQJ yang mengendarai mobil sedan Mitsubishi bernomor polisi B-80-SAL,
terlibat kecelakaan dengan dua mobil pada Minggu, 8 September 2013 dini hari.
Kecelakaan itu menyebabkan enam orang meninggal dunia dan sembilan orang
terluka. Kini Kepolisian Indonesia telah menetapkan AQJ sebagai tersangka dalam
kecelakaan mobil tersebut.[2]
Dunia hukum dalam beberapa tahun ini
telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan
kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan
mekanisme peradilan anak yang bersifat represif
dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan
mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Para pakar hukum dan
pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi yang lebih tepat dalam penanganan
anak dengan memberikan perhatian lebih untuk melibatkan mereka secara langsung
(reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, berbeda dengan cara
penanganan orang dewasa.
Atas dasar itu, lahirlah UU No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang telah disahkan dan
diundangkan menjadi salah satu produk legislasi DPR RI dan Pemerintah Tahun
2012. Sebagaimana kita ketahui, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan menjadi dasar hukum untuk
mengkriminalisasi perbuatan nakal anak, sehingga memang sudah selayaknya
diganti. Di dalam UU tersebut diperkenalkanlah sebuah konsep penegakan hukum
yang dinamakan Restorative Justice System.
Yang menjadi perhatian utama dari konsep tersebut adalah kepentingan pelaku,
korban dan masyarakat.
Namun jika dikaji secara mendalam
mengenai konsep restorative justice
melalui diversi, ide diversi yang terdapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengamanatkan bahwa
pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
negeri wajib diupayakan diversi. Pasal tersebut bertolak belakang dengan tujuan peradilan pidana anak dengan keadilan
restoratif (restorative justice) dan
belum mencerminkan keadilan restoratif yang sepenuhnya. Hal ini
dikarenakan:[3]
a.
Diversi dilakukan dalam setiap
tahapan penyidikan, penuntutan dan persidangan sehingga diversi tidak mampu
menghindarkan anak dari stigma negatif akibat proses formal peradilan pidana.
b.
Diversi yang disediakan hanya satu
model saja tanpa menyesuaikan tingkat keseriusan tindak pidana.
c.
Diversi yang dijalankan cenderung
memakan proses yang lama dan memakan biaya yang banyak.
Ide konsep restorative justice melalui diversi pada Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak berasal dari The Beijing
Rules, yang kemudian menjadi suatu pembaharuan hukum sistem peradilan
pidana anak di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana dilakukan tidak terlepas
dalam rangka usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat.
Di
dalam melakukan pembaharuan hukum seyogyanya memperhatikan hasil kajian
perbandingan. Dengan melakukan studi perbandingan maka akan diketahui bagaimana
formulasi di negara-negara asing dan sebagai hal yang wajar jika kita melakukan
penyesuaian (adaptasi) dengan negara-negara lain. Negara-negara lain yang telah
mengimplementasikan konsep restorative
justice ke dalam bentuk diversi dalam peradilan anak antara lain, seperti
Australia, Jepang, Israel, Belanda, China, Amerika Serikat, dan New Zealand.
Uraian secara ringkas mengenai
implementasikan konsep restorative
justice melalui Diversi dapat diambil contoh dari bentuk pelaksanaan
Diversi di New Zealand yang menjadi gambaran keberhasilan penerapan fungsi aparat
penegak hukum dalam menangani masalah anak yang terlibat kasus pidana. Di New
Zealand sejarah diversi dimulai dengan kesuksesan family group conferencing yaitu perundingan antara pihak korban dan
pelaku dalam penyelesaian tindak pidana di masyarakat, yang akhirnya dilakukan
reformasi terhadap hukum peradilan anak pada tahun 1989. Penerapan peradilan
khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi secara luas.
Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan
anak dan diversi. Restrukturisasi Peradilan Pidana di New Zealand setelah
reformasi hukum menggambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidna
yang ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana.
A.
Pembahasan
Jenis penelitian pada penulisan karya
tulis ini adalah yuridis normatif atau dapat juga dikatakan sebagai suatu studi
kepustakaan karena yang diteliti adalah suatu peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) ,
yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan masalah
hukum yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini akan dikaji peraturan
perundang-undangan No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA) dan beberapa ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan permasalahan
diatas. Pendekatan perbandingan (comparative
approach) merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian
normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga
hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain. Dalam penelitian
ini akan dilakukan perbandingan hukum mengenai konsep restorative justice melalui diversi antara sistem hukum yang
berlaku di Indonesia dengan sistem hukum yang berlaku di negara Asing (New
Zealand). Jenis dan Sumber Bahan Hukum pada penelitian ini meliputi bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dan kemudian oleh penulis dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis interpretasi hukum, yaitu interpretasi gramatikal,
interpretasi logis dan interpretasi komparatif, yang dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi obyek kajian.
Dari hasil penelitian dengan metode
diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa:
1. Kebijakan
Formulatif konsep restorative justice dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
a. Konsep
Restorative Justice dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Konsep
restorative justice sebagai pembaruan sistem peradilan pidana anak
harus sesuai secara substansial dengan formulasi konvensi internasional yang
pengejawantahan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan norma-norma hukumnya
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional suatu negara. Dalam
pembentukan peraturan perndang-undangan yang mengatur tentang Peradilan Pidana
Anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut. Sistem Peradilan Pidana Anak yang adil merupakan perlindungan hak-hak
anak sebagi tersangka, terdakwa, maupun sebagai narapidana. Perlindungan
terhadap anak merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak.
Keadilan
restoratif (restorative justice)
menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang dimuat dalam Pasal 1 angka 6, adalah penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Ide
mengenai restorative justice masuk
dalam pasal 5, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif (ayat (1)), yang meliputi ayat (2):
a) Penyidikan
dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali dtentukan lain dalam undang-undang ini;
b) Persidangan
anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
c) Pembinaan,
pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan
pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Ditegaskan
pada ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b bahwa
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi.
Konsep
restorative justice dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana Anak diterapkan (diaplikasikan) pada semua proses dan tahapan
peradilan pidana, yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan yaitu:
Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak dan Petugas Lembaga
Pemasyarakatan Anak.[1]
a) Di
Bidang Penyidikan
Undang-Undang
No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara pada Penjelasan Umum menyebutkan
bahwa: Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan
diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan
penilaian sendiri.
Menurut
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 7 ayat (1) secara jelas
penyidik wajib mengupayakan diversi. Namun dalam hal demikian penyidik tetap
mengupayakan diskresi terlebih dulu, sebab kewenangan diksresi tertuang dalam
KUHAP dan Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara pada
Penjelasan Umum menyebutkan bahwa: Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi
kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
Sesuai
dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 7 ayat (1), Penyidik
mempunyai hak melakukan diversi. Lebih lanjut Pasal 29 menerangkan sebagai
berikut:
Pasal
29 ayat (1) sampai dengan ayat (4):
1) Penyidik
wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
penyidikan dimulai.
2) Proses
diversi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah dimulai diversi.
3) Dalam
hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita
acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk
dibuat penetapan.
4) Dalam
hal diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara
ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian
kemasyarakatan.
Adapun
dapat diuraikan secara singkat mengenai Tahap Penyidikan dalam Diversi, yaitu Penyidik
menerima perkara anak berasal dari laporan, aduan dan memungkinkan penyidik
mengetahui sendiri. Bersama-sama dengan Bapas, pihak korban dan pihak orang tua
pelaku serta LSM, penyidik mengadakan musyawarah untuk menentukan tindakan
selanjutnya dalam perkara anak nakal yang bersangkutan. Tindak lanjut dari
penyidikan ini untuk menentukan apakah anak nakal tersevut perlu diteruskan
kepada penuntutan atau dilakukan diversi. Di dalam penuntutan ini perlu ada
pemberitahuan dan kesepakatan dengan orang tua, wali atau pihak lain yang
berperan untuk menentukan bagaimana perlakuan terhadap anak nakal
tersebut.kesepakatan orang tua/wali sangat berperan dalam penentuan ide
diversi. Sebagaimana di negara-negara lain ide diversi ini, disertai dengan
kesepakatan orang tuanya. Apabila anak nakal tersebut menerima program-program
diversi, maka perkara anak yang bersangkutan tidak dilimpahkan kepada proses
penuntutan, namun jika pengajuan ide diversi tidak diterima atau ditolak maka
seterusnya perkara dilimpahkan ke pengadilan, untuk dilakukan penuntutan dan
pemeriksaan di kejaksaan.
b) Di
Bidang Penuntutan
Diversi
menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 7 ayat (1) wajib diupayakan diversi sejak pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri, sedangkan tindak
pidana yang dapat diupayakan diversi menurut ayat (2) adalah:
1. Tindak
pidana yang ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2. Bukan
merupakan pengulangan tindak pidana.
Sesuai
dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 7 ayat (1), Jaksa sebagai
Penuntut Umum secara jelas mempunyai hak melakukan diversi yang prosesnya dapat
dilaksanakan di ruang mediasi kejaksaan negeri, lebih lanjut Pasal 42
menerangkan sebagai berikut:
Pasal
42 ayat (1) sampai dengan ayat (3):
1) Penuntut
Umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
menerima berkas perkara dari Penyidik;
2) Diversi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh)
hari;
3) Dalam
hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan dengan
melampirkan berita acara diversi.
Adapun dapat diuraikan secara
singkat mengenai Tahap Penuntutan dalam Diversi, yaitu Penuntut umum anak
setelah menerima limpahan ide diversi dari penyidik untuk segera ditentukan,
apakah akan dilakukan diversi atau tidak dilakukan diversi. Jika berdasarkan
musyawarah, setuju dilakukan diversi, maka penuntut umum memasukkan anak nakal
tersebut pada program diversi. Sebaliknya jika tidak dilakukan diversi maka
segera perkara dilimpahkan ke pengadilan anak.
c) Di
Bidang Persidangan
Anak
yang berhadapan dengan hukum pada setiap proses peradilan, baik ketika
berurusan dengan polisi, jaksa maupun ketika dalam persidangan pengadilan, pada
dasarnya memiliki hak untuk didampingi atau diwakili advokat, didampingi petugas
kemasyarakatan dari Bapas dan juga berhak didampingi oleh orang tua atau
walinya, sehingga terlindungi hak-haknya sebagai tersangka anak. Sedapat
mungkin anak dijauhkan dari tindakan penghukuman yang biasa diberlakukan kepada
penjahat dewasa.[2]
Dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 60 ayat (3) menyebutkan bahwa
sebelum menjatuhkan putusan perkara hakim wajib mempertimbangkan laporan
penelitian Kemasyarakatan, dan apabila laporan tersebut tidak dipertimbangkan
dalam putusan, menurut ayat (4) putusannya batal demi hukum, Pasal 61 dan Pasal
62, pembacaan putusan dilakukan dalam sidang terbuka umum dan dapat tidak
dihadiri oleh anak. Serta merta pengadilan wajib memberikan petikannya pada
anak atau advokatnya, pembimbing kemasyarakatan dan jaksa. Selambat-lambatnya 5
(lima) hari setelah pembacaan putusan, pengadilan wajib memberikan salinannya
kepada anak atau advokatnya, pembimbing kemasyarakatan dan jaksa.
Adapun
dapat diuraikan secara singkat mengenai Pemeriksaan Pengadilan dalam Diversi, yaitu
Hakim anak menerima pelimpahan perkara anak dari penuntut umum anak untuk
segera dilakukan pemeriksaan di pengadilan. Pihak pengadilan setelah menerima
pelimpahan perkara dari penuntut umum anak, maka segera melakukan pemeriksaan
perkara anak nakal tersebut. Hakim dapat menentukan apakah akan dilakukan
diversi atau perkara akan diputus pidana. Jika menentukan dilakukan diversi,
maka ditentukan program diversi yang tepat bagi anak tersebut, dan perkara
dihentikan. Jika hakim menentukan akan diperiksa sampai akhir maka terhadap
anak nakal ditentukan putusan yang tepat bagi anak tersebut sesuai dengan
perbuatan dan keadaan anak nakal yang bersangkutan.
Selanjutnya
Tahap Pelaksanaan Putusan dalam Diversi, yaitu Pihak pembina lembaga
pemasyarakatan anak dapat menentukan apakah anak nakal yang telah diputus
hakim, akan dibina di LP Anak atau dengan pelaksanaan program diversi. Saat ini
telah terjadi kerjasama antara pihak Pembina LP Anak dengan Departemen Sosial,
dimana telah disepakati bahwa Panti-panti Bina Remaja dapat sebagai tempat
pembinaan anak nakal, sekaligus anak pidana. Dengan demikian sebenarnya anak
pidana ataupun anak didik LP Anak tidak harus menjalani pembinaan di dalam LP
Anak.
d) Di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Menurut
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Penjelasan Umum, penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (sebagai pengganti LAPAS Anak). Pasal 63 menyebutkan bahwa petugas
kemasyarakatan terdiri dari:
a. Pembimbing
kemasyarakatan;
b. Pekerja
sosial profesional; dan
c. Tenaga
kesejahteraan sosial.
Pasal
65 huruf d menyebutkan bahwa Anak di bawah bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan
pada BAPAS (Balai Pemasyarakatan). Pasal 1 angka 24, BAPAS adalah unit
pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian
pemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan.
Dari
uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan konsep restorative justice melalui diversi
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
wajib diupayakan pada semua proses dan tahapan Sistem Peradilan Pidana yang
saling terkait dan merupakan satu kesatuan yaitu mulai dari tingkat Penyidikan,
Penuntutan, Persidangan hingga di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Hal
diatas tentu sangat bertolak belakang dengan
tujuan peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif (restorative justice) dan belum
mencerminkan keadilan restoratif yang sepenuhnya (idealnya).
Adapun tujuan peradilan pidana anak
dengan Keadilan Restoratif, diantaranya:[3]
1) Mengupayakan
perdamaian antara koban dan anak;
2) Mengutamakan
penyelesaian di luar proses peradilan;
3) Menjauhkan
anak di pengaruh negatif proses peradilan;
4) Menanamkan
rasa tanggung jawab anak;
5) Mewujudkan
kesejahteraan anak;
6) Menghindarkan
anak dari perampasan kemerdekaan;
7) Mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi;
8) Meningkatkan
keterampilan hidup anak.
Pelaksananan konsep restorative justice melalui diversi dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih belum memberikan dukungan
terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal
ini dikarenakan prinsip utama (ideal) dari diversi dan restorative justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari
system peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan
sanksi alternatif tanpa pidana penjara belum terpenuhi sepenuhnya.
b.
Bentuk Pelaksanaan
konsep restorative justice melalui
Diversi Berdasarkan Kajian Komparasi di New Zealand
Studi
komparasi diperlukan dalam pembaruan hukum, karena kajian perbandingan hukum
untuk memahami bagaimana perkembangan hukum di negara-negara lain sekaligus
pembaruan hukum yang kita lakukan terdapat kewajaran untuk menyesuaikan
(adaptasi) dengan perkembangan negara-negara lain pada umumnya.
Pelaksanaan
konsep restorative justice melalui
Diversi di New Zealand dapat menjadi gambaran keberhasilan penerapan fungsi
aparat penegak hukum dalam menangani masalah anak yang terlibat kasus pidana.
Di New Zealand sejarah diversi dimulai dengan kesuksesan family group conferencing yaitu perundingan antara pihak korban dan
pelaku dalam penyelesaian tindak pidana di masyarakat, yang akhirnya dilakukan
reformasi terhadap hukum peradilan anak pada tahun 1989. Penerapan peradilan
khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan
pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan
diversi. Restrukturisasi Peradilan Pidana di New Zealand setelah reformasi
hukum menggambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidna yang
ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana.
c.
Kebijakan Formulatif Konsep Restorative
Justice melalui Family Group Conferencing
Conferencing
dikembangkan pertama kali di Negara New Zealand pada tahun 1989 dan di Autralia
pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses
secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand
yaitu bangsa Maori. Conferencing adalah
konferensi, perundingan atau musyawarah. Conferencing
tidak hanya melibatkan korban utama (primary
victim) dan pelaku utama (primary
offender) tapi juga korban sekunder (secondary
victim) seperti anggota keluarga dan teman korban. Orang-orang ini ikut
dilibatkan karena mereka juga terkena dampak atau imbas dalam berbagai bentuk
akibat dari kejahatan yang terjadi dan juga karena mereka peduli terhadap
korban ataupun pelaku utama. Mereka dapat juga berpartisipasi dalam bentuk
menyampaikan dan menjelaskan secara persuasif hasil kesepakatan agar dapat
dilaksanakan oleh kedua belah pihak yakni korban dan pelaku. Dalam perkembangan
selanjutnya conferencing telah dibawa
ke luar negeri dari negara asalnya New Zealand dan dipakai di banyak negara
lain seperti Australia, Asia, Afrika Selatan, Amerika Utara dan Eropa.
Oleh
karena pelaksanaan konsep restorative
justice melalui diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan pada semua proses dan tahapan
Sistem Peradilan Pidana yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan yaitu
mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan, Persidangan hingga di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA), maka Penulis berpendapat bahwa alangkah baiknya
konsep restorative justice melalui
diversi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak tersebut dikeluarkan dari setiap proses dan tahapan
Sistem Peradilan Pidana agar upaya menjauhkan dan menghindarkan stigmatisasi
Anak dapat tercapai.
Hal
yang paling penting adalah mengenai tujuan peradilan pidana anak dengan
keadilan restoratif (restorative justice)
yaitu untuk memberikan dukungan terhadap proses perlindungan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan prinsip utama (ideal) dari
diversi dan restorative justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari
system peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan
sanksi alternatif tanpa pidana penjara dapat terpenuhi sepenuhnya.
Family Group Conferencing sebagai
variasi bentuk restorative justice
yang dikembangkan dan diterapkan di Negara New Zealand merupakan alternatif kebijakan formulatif dalam penanganan dan
perlindungan hukum terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Lebih dari
itu, family
group conferencing dapat menjadi gambaran dan sekaligus sebagai masukan
pembaharuan kebijakan formulasi sistem peradilan pidana anak di Indonesia
mendatang (Ius Constituendum).
2.
Ketidaksesuaian konsep restorative justice dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan konsep Perlindungan
Hukum terhadap Anak
Ketentuan
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pada
Pasal 64 yang menguraikan tentang salah satu perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum adalah penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi anak, yaitu sanksi yang dapat mendukung bagi pembinaan
dan perlindungan anak, hal ini tampak tidak
sejalan dengan pelaksanaan program konsep restorative
justice melalui diversi yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya pada pasal 7 ayat (1) yang
menyatakan bahwa Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
Harapan
untuk
menjauhkan anak dari proses peradilan dan anak kembali ke dalam lingkungan
sosial secara wajar tidak akan berhasil karena dengan dilakukannya Diversi pada
setiap tahap proses peradilan pidana mulai dari
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
negeri dapat menimbulkan stigmatisasi terhadap Anak,
perampasan kemerdekaan dan Anak sulit untuk dapat kembali ke dalam lingkungan
sosial secara wajar terkait dengan labelisasi yang telah melekat pada dirinya.
Demikian
pula dengan usaha untuk melindungi hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum
agar tidak menjadi korban dalam proses pidana dan perlindungan hukum bagi anak baik
kegiatan yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari tindakan yang
membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis tidak tercapai dengan adanya
proses Diversi pada setiap tahapan/tingkatan Sistem Peradilan Pidana yaitu
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri.
B.
Penutup
1. Kesimpulan
Secara keseluruhan, kesimpulan yang
diperoleh dari hasil dan pembahasan atau penelitian terhadap 2 (dua) pokok
permasalahan di atas, diuraikan di bawah ini:
1) Pelaksananan
konsep restorative justice melalui
diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan pada semua proses dan tahapan
Sistem Peradilan Pidana yaitu mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan,
Persidangan hingga di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) ini masih
belum memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan prinsip utama (ideal) dari diversi
dan restorative justice adalah
menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan
memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara
belum terpenuhi sepenuhnya.
2) Pelaksanaan
konsep restorative justice melalui
Diversi di New Zealand dapat menjadi gambaran keberhasilan penerapan fungsi
aparat penegak hukum dalam menangani masalah anak yang terlibat kasus pidana.
2.
Saran
Demi
mewujudkan pembaharuan kebijakan formulasi Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia mendatang yang lebih baik, disarankan sebagai berikut:
Bagi
pemerintah sebagai pengambil kebijakan:
a. Alangkah
baiknya konsep restorative justice
melalui diversi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut dikeluarkan dari setiap proses dan
tahapan Sistem Peradilan Pidana agar upaya menjauhkan dan menghindarkan
stigmatisasi Anak serta penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi anak sebagai bentuk perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum dapat tercapai/terwujud.
b. Family Group
Conferencing sebagai variasi bentuk restorative justice yang dikembangkan
dan diterapkan di Negara New Zealand dapat
menjadi gambaran dan sekaligus sebagai masukan pembaharuan kebijakan formulasi
sistem peradilan pidana anak di Indonesia mendatang (Ius Constituendum).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
M.
Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Maidin Gultom, Perlindungan
Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika
Aditama, Jakarta, 2009.
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini
Tinduk, Yayasan Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Foundation), Kumpulan Tulisan,
Jakarta, 2005.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Naskah
Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3668.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 153 Tahun 2012, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5332.
INTERNET
Anak Ahmad Dhani Terlibat Kecelakaan Maut di Tol Jagorawi (online), http://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/08/0806475/Anak.Ahmad.Dhani.Terlibat.Kecelakaan.Maut.di.Tol.Jagorawi, diakses pada 6 Desember 2013, pukul 09.54 WIB.
Muhammad
Aenur Rosyid, Alternatif Model
Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing
(online), http://hukum.ub.ac.id/wpcontent/uploads/2013/09/375_JURNAL-AENUR.pdf, diakses pada
25 September 2013, pukul 19.45 WIB.
[1] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2009,
hlm. 75.
[2] Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan
Ni Made Martini Tinduk, Yayasan Pemantau
Hak Anak (Children’s Human Rights
Foundation), Kumpulan Tulisan, Jakarta, 2005, hlm. 212.
[3] Naskah Akademik RUU Sistem
Peradilan Pidana Anak.
[1] M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1-2.
[2] Anak Ahmad Dhani Terlibat Kecelakaan Maut di Tol Jagorawi
(online), http://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/08/0806475/Anak.Ahmad.Dhani.Terlibat.Kecelakaan.Maut.di.Tol.Jagorawi, diakses
pada 6 Desember 2013, pukul 09.54 WIB.
[3] Muhammad
Aenur Rosyid, Alternatif Model
Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing
(online), http://hukum.ub.ac.id/wpcontent/uploads/2013/09/375_JURNAL-AENUR.pdf, diakses 25
September 2013, pukul 19.45 WIB.
0 komentar: